- BUKU SISWA BAHASA INDONESIA KELAS XII EDISI 2018
- BUKU SISWA BAHASA INDONESIA KELAS XI EDISI REVISI
- BUKU SISWA BAHASA INDONESIA KELAS X EDISI REVISI
- Pengumuman Kelulusan
- Bahaya Mendiagnosis Penyakit di Internet
- Pembagian Raport Online
- Kalender Pendidikan SMA
- Pembelajaran ditahun Pelajaran 2020/2021
- Penyelenggaraan PAT Basis Online
KILAS BALIK DAN RANGKAIAN ACARa SATU ABAD AL-MASTHURIYAH
Random Video
K.H. Masthuro
dilahirkan pada tahun 1901 di Kampung Cikaroya, sebuah kampung yang bertetangga
dengan Kampung Tipar tempat Al-Masthuriyah kini berada. Ayahnya bernama Amsol
yang kesehariannya bertugas sebagai Amil atau Lebe yang mengurusi masalah keagamaan
di desa. Bapak Amsol adalah nama samaran dari Asror. Beliau menggunakan nama
samaran itu untuk menghindar dari kejaran Belanda. Karena tidak mau tunduk ke
penjajah, ia melarikan diri dari Kuningan ke Bogor yang kemudian memperoleh
istri dari Cimande Bogor yang bernama Ibu Eswi.
Dalam hal pendidikan
keagamaan, sebagaimana kebiasaan masyarakat pedesaan pada masa itu, K.H.
Masthuro memulai kegiatan mencari ilmunya dengan belajar membaca Al-Quran yang
dimulai pada saat berusia enam tahun, yaitu pada tahun 1907. Guru pertamanya
dalam membaca Al-Quran adalah Ayahnya sendiri, Bapak Amsol. Kemudian pada tahun
1909 di usianya yang kedelapan, ia pergi menuntut ilmu di Pesantren Cibalung,
Desa Talaga, Kecamatan Cibadak, Sukabumi yang dipimpin oleh K.H. Asyari. Di
Pesantren ini K.H. Masthuro selain memperdalam penguasaan membaca Al-Quran,
juga mulai mempelajari kitab-kitab kuning. Di sinilah pertama kali ia mengenal
kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan di banyak pesantren hingga sekarang.
Pada tahun 1911, K.H.
Masthuro masuk sekolah kelas II di Rambay Cisaat. Pada tahun 1914, setelah tiga
tahun belajar di sekolah ini, ia berhasil lulus dengan memperoleh ijazah.
Selain belajar di Rambay, ia juga mengaji kitab-kitab kuning di Pesantren Tipar
Kulon yang dipimpin oleh K.H. Kartobi. Di pesantren ini, ia memperdalam kembali
apa yang pernah diperolehnya di Pesantren Cibalung. Selepas menamatkan
pendidikannya di sekolah di Rambay, K.H. Masthuro kembali menjelajah dunia
pesantren. Pada tahun 1914, ia kembali mengaji kitab-kitab kuning di Pesantren
Babakan Kaum Cicurug, Sukabumi yang dipimpin oleh K.H. Hasan Basri.
Pada masa yang sama,
K.H. Masthuro juga ikut mengaji di Pesantren Karang Sirna Cicurug yang dipimpin
oleh K.H. Muhammad Kurdi. Jarak yang tidak begitu jauh dari pesantren tempat ia
tinggal, memungkinkannya untuk mengaji di dua pesantren pada saat yang
bersamaan. Di pesantren ini, seperti juga di pesantren-pesantren lainnya, K.H.
Masthuro mempelajari kitab-kitab kuning terutama yang belum dipelajarinya. Di
dua pesantren di atas, K.H. Masthuro hanya mengaji selama satu tahun saja. Pada
tahun berikutnya, 1915, K.H. Masthuro mengaji kitab-kitab di pesantren Paledang
Cimahi Cibadak Sukabumi pimpinan K.H. Ghazali.
Masih di tahun yang
sama, yaitu 1915, K.H. Masthuro berpindah ke Pesantren Sukamantri Cisaat yang
diasuh dan dipimpin oleh K.H. Muhammad Sidiq. Pada tahun 1916, ia mempelajari
kitab-kitab di Pesantren Pintuhek, Sukabumi, yang dipimpin oleh K.H. Munajat.
Kemudian pada tahun 1918, K.H. Masthuro mengaji kitab-kitab di Pesantren. Pesantren
Al-Masthuriyah atau ‘pasantren Tipar’ julukan dari masyarakat sekitar– berdiri
sejak tahun 1920 di Kampung Tipar, Desa Cibolangkaler (dulu Desa Cibungaok,
kemudian Desa Cimahi), Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi (7 km arah barat
kota Sukabumi).
Pada 9 Rabiul Akhir 1338 H, bertepatan
dengan 1 Januari 1920, KH. Masthuro mulai mendirikan sebuah madrasah yang
diberi nama Madrasah Ahmadiyah yang merupakan cabang dari Madrasah Ahmadiyah
Sukabumi. Nama Ahmadiyah dipilihnya karena beliau adalah lulusan Madrasah
Ahmadiyah Sukabumi dan tidak ada hubungannya dengan nama sebuah aliran dalam
Islam.
Pada tahun 1941, KH. Masthuro mulai
mengelola Madrasah dan pesantrennya secara mandiri dan terpisah dari status
cabangnya. Nama pun diubahnya menjadi Sekolah Agama Sirojul Athfal. Walaupun
dari istilahnya Siroj berarti lampu dan athfal berarti anak laki-laki.
Kemudian, atas saran dan hasil musyawarah pada tahun 1950 dibentuklah sebuah
lembaga baru, dengan nama Sekolah Agama Sirojul Banat. Hal tersebut
memungkinkan diterimanya santri perempuan untuk belajar di pesantren ini.
Perkembangan selanjutnya, secara berturut-turut, KH. Masthuro mendirikan
Madrasah Tsanawiyah Sirojul Athfal/Banat pada tahun 1967 dan Madrasah Aliyah
Sirojul Athfal/Banat pada 1968. Pada tahun ini pula, tepatnya tanggal 27 Rajab,
KH. Masthuro menghadap Ilahi dan meninggalkan lembaga rintisannya yang kini
sudah besar dan sudah menebarkan alumninya ke berbagai penjuru daerah di
Indonesia, bahkan sudah sampai ke negeri yang jauh
